LIVE FOR ALIVE


‘Oh Tuhan ... Kumohon beri aku izin untuk membunuh satu nama saja!’
Hanya itu kalimat yang terus berputar dalam benaknya. Kebencian teramat dalam ia rasakan pada seorang gadis di kelasnya, hingga ia ingin memusnahkannnya segera dari muka bumi. Rasa ini bukan tanpa alasan. Hidupnya serasa dibayang-bayangi oleh hantu berwujud gadis genit, centil dan penggoda itu. Entah apa sebabnya. Ia merasa tak memiliki masalah apapun sebelum bertemu dengannya, tapi gadis itu terus merongrong hari-harinya. Seperti hendak mematikan daya eksistensinya.
“Hai ... ke kantin yuk?” ujar lelaki cupu yang selalu ada disisinya. Tak tahu dari mana arahnya tiba-tiba saja lelaki itu sudah ada di depannya,. “Aku yang traktir kali ini. Naskahku terpilih sebagai pemenang di event Lomba Cerpen Nasional dengan tema ‘Time Travel’ dari Penerbit Ellunar.”
“Wah .... Selamat Ndi! Setelah lebih dari tiga tahun ikut lomba begituan akhirnya bisa menang juga. Salut deh sama kamu yang ga pantang menyerah.” balas Weny dengan penuh semangat. Segera mereka melangkah ke kantin kampus yang menjadi tempat nongkrong mereka selama ini.
Dua sahabat ini terlihat kompak dan akrab. Meski menurut pandangan teman-teman mereka di kampus, mereka ibarat kisah Sang Putri dan Pangeran Katak. Weny gadis sederhana tapi manis, pintar, dan tidak terlalu populer. Sedangkan Gundi, singkatan dari Gunawan Dilaga, julukan yang diberikan oleh Weny untuknya. Namun status mereka berdua bukanlah sebagai sepasang kekasih. Hanya sebatas sahabat. Mereka telah berteman semenjak di SMA. Dan melanjutkan kuliah di jurusan dan kampus yang sama; Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Andalas, Padang.
Sosok gadis yang menghantuinya itu, Meri Shelly, lewat di belakang kursi Gundi dengan tatapan tajam dan penuh amarah tertuju pada Weny, saat mereka sedang makan di kantin.
“Kamu kenapa?” tanya Gundi.
“Ga ada. Lagi sebel sama seseorang.”
“Oo ... bukan aku kan?”
“Bukan.”
“Jangan cemberut donk.” Gundi tersenyum, “Karena kamu selalu support aku, jadi ini buat kamu” Gundi mengulurkan tangannya di atas meja ke arah Weny.
Sebuah kotak hitam. Tak sabar ia langsung membukanya. Weny terbelalak takjub. “Wow ... ini keren! Warna hijau kesukaanku. Makasih Gundi. Tapi ...” seketika wajah cerianya berubah layu, “... ini pasti mahal. Uang hadiahmu saja tak akan cukup untuk membelinya.”
“Iya, pasti tak akan cukup. Jam tangan itu bukan beli, Weny. Tapi hadiah sponsor lomba kemaren, dari Sociawatch. Keren kan? Aku pikir itu akan sangat cocok denganmu”
Weny mengulum senyum di bibirnya, “Aku mau ke toilet sebentar ya?”. Gundi mengangguk tanda setuju.
Di sana Weny bertemu lagi dengan Meri Shelly. Weny menatap penampilan Meri yang membuatnya kesal. Meri selalu mengikuti gaya apapun yang dikenakan oleh Weny. Mulai dari model baju, sepatu, aksesoris, dan lainnya. Meri menyukai semua hal yang Weny suka, dan membenci apapun yang Weny tak suka. Mereka terlihat hampir sama kecuali dalam satu hal. Karakter bawaan atau personality. Weny gadis yang sederhana, tidak banyak bicara, dan tidak suka menarik perhatian orang. Sedangkan Meri gadis yang genit, tebar pesona, dan selalu ingin menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada.
Kehadiran Meri di kelasnya sejak satu minggu yang lalu sangat aneh. Dari pengakuannya, dia pindahan dari Fakultas Ekonomi di kampus yang sama. Weny yang merasa dimata-matai oleh Meri, pernah sekali menanyakan tentang sosoknya pada salah seorang temannya di Fakultas Ekonomi. Namun dia bilang ia tak mengenalnya. Mungkin terlalu banyak mahasiswa di Fakultas Ekonomi, jadi wajar jika dia tak mengenal Meri Shelly, pikir Weny. Setelah itu ia tak pernah mencari tahu lagi tentang sosok Meri. Baginya tidak penting memikirkan hal-hal yang tidak penting.
Meri baru saja keluar dari salah satu kamar toilet saat Weny membuka pintu. Pandangan mereka beradu. Weny hendak menghadirkan senyum sapa di bibirnya. Namun urung karena melihat tatapan Meri yang dingin padanya.
Mata Weny tertuju pada sebuah benda yang melingkar indah di pergelangan tangan kiri Meri. Dia tak asing dengan benda itu. Benda yang sama persis dengan yang baru saja diterimanya dari Gundi.
Toilet sedang sepi. Weny segera masuk ke dalam salah satu ruang yang kosong. Mengabaikan pandangan Meri yang dingin. Entah apa yang salah dengan Weny, sehingga Meri terkesan menyimpan kebencian padanya.
Saat Weny hendak keluar dari toilet, didapatinya Meri masih berdiri di depan cermin sambil memegang benda kecil bercahaya merah bulat di tangan kirinya. Terlihat oleh Weny dari pantulan kaca, linangan air mata membasahi pipi Meri.
“Kenapa kamu men ...” kalimatnya terputus saat tiba-tiba Meri membalikkan wajahnya dengan buas dan menimpalinya dengan penuh amarah, “Diam kamu! Semua ini gara-gara kamu, Weny. Kamu harus menjauh dari Gundi. Jika memang kamu peduli padanya.”
“Apa maksudmu? ... “ kembali kata-katanya tercekat karena Meri tergesa-gesa lari keluar dan menabrak salah seorang perempuan yang hendak masuk ke dalam toilet. Bunyi gubrak dari tabrakan itu mengagetkannya. Meri berlalu pergi. Perempuan barusan sudah masuk ke dalam salah satu ruang. Menyisakan Weny dan kebisuan. Dan ditemukannya di pojok lantai sebuah cermin merah milik Meri tadi.
Weny meraihnya. Menatap ke dalam cermin yang sekilas seperti bercahaya. Diamati wajahnya yang terpantul dari dalam cermin itu. Dia mengedipkan mata. Ada sesuatu yang aneh. Sekali lagi ia mengedipkan mata. Ya, ada sesuatu yang aneh. Tapi dia tak yakin dengan yang dilihatnya. Untuk ketiga kalinya ia mengedipkan mata. Weny menurunkan cermin itu dari pandangannya dengan rasa tak percaya. Bagaimana mungkin dia bisa melihat dirinya sendiri berkedip di dalam cermin. Seolah-olah pantulan itu bukan dirinya. Lalu siapa?
Weny lari keluar hendak memberitahukannya kepada Gundi. Tak berapa lama ia berlari dari pintu toilet, langkahnya terhenti oleh hadirnya sosok Meri di depannya. Weny ketakutan.
“Kembalikan milikku!”
“Apa ini sebenarnya, Meri?”
“Kamu sungguh ingin tahu? Ikuti aku.”
Dengan waspada Weny tetap berjalan mengikuti langkah Meri di belakangnya. Hingga mereka tiba di gudang tua kampus yang sepi, berdebu, kotor dan berantakan. Meri membanting tumpukan buku ke lantai dengan jijik, seperti sedang membuang sampah. Tampak dari sorot matanya sebuah kebencian dan amarah.
“Aku datang dari masa depan, tiga tahun dari sekarang, Weny.”
Rasa tak percaya menyelimuti pikiran Weny, namun ia bersikap seolah-olah mempercayainya, “Untuk apa kau datang dari masa depan?”
“Kamu pasti tahu. Karena aku tahu menjadi kamu”
“Apa maksudmu? Kenapa kamu selalu mengikutiku, kenapa kamu menyukai semua hal yang aku suka? Kenapa kamu mencoba menjadi aku?”
“Tanyakan pada hatimu tentang Gundi”
“Apakah kamu menyukai Gundi, Meri?”
Meri mengabaikan pertanyaan itu, “Weny, aku mohon padamu menjauhlah dari Gundi. Tubuh ringkihnya takkan mampu menopang semua konsekuensi pikiran yang kalian kicaukan. Hentikan semua omong kosong kalian tentang buku-buku ini.” Jari Meri menunjuk ke arah buku yang dibantingnya tadi.
“Kenapa dengan Gundi di masa depan?”
“Ikutlah denganku jika kau sungguh ingin tahu. Tapi setelah ini kamu harus berjanji untuk menjauhinya. Karena kesempatanku untuk kembali ke masa lalu hanya sekali.”
“Akan aku pertimbangkannya” jawab Weny secara diplomatik. Tiba-tiba semua gelap saat Meri menarik tangannya.
***
Saat ia kembali membuka matanya, ia sudah berada di sebuah kamar di rumah sakit. Di sana terbaring seorang lelaki lemah dan ringkih yang dikenalnya.
“Ini Gundi, apa yang terjadi padanya, Meri?”
“Dia kritis sudah hampir dua minggu. Dia terikat janji denganmu. Dan aku harus membatalkannya. Itulah mengapa aku kembali ke masa lalu untuk menyelamatkan hidupnya, dan mencegah kalian mengucapkan janji itu.”
“Lalu di mana aku saat ini? Saat Gundi membutuhkanku, Meri?”
Meri terdiam tak menjawab. Sesaat kemudian ia bersuara, “Aku akan menggantikanmu, Weny. Aku akan melakukan operasi plastik terbaik di dunia untuk mengubahku menjadi kamu. Karena aku sangat menyayangi Gundi. Tapi karena kamu, dia melawan atas semua kebijakan ayahku melalui tulisan-tulisannya. Hingga peristiwa kejam itu harus terjadi.” Weny mengikuti mata Meri yang menatap ke sebuah layar petak yang terpasang di dinding ruangan. Menyiarkan Hot News tentang baku tembak yang terjadi di sebuah rumah yang disinyalir sebagai provokator makar terhadap pemerintah.
Weny mengenali tempat kejadian itu. “Tidak, Meri! Itu tak mungkin. Dan tak ada siapapun yang bisa menjadi aku. Aku adalah aku.” Weny lalu berlari keluar. Membiarkan kakinya melangkah kemanapun yang ia sanggup mencapainya. Menaiki anak tangga hingga tiba di puncak gedung itu.
Meri mengejarnya. “Berhenti Weny! Kamu sudah tahu semuanya. Sekarang berjanjilah padaku demi Gundi, bahwa kamu akan menjauhinya dan tak kan pernah mengucapkan janji bodoh itu.” Meri memohon penuh harap padanya. Weny tak bisa berpikir dengan jernih. Semua ini seperti mimpi buruk baginya. Ia ingin segera bagun dan kembali ke masanya. Dia melangkah ke tepi gedung. Merentangkan kedua tangannya. Membiarkan angin membawa tubuhnya melayang di udara tanpa penghalang.
***
Weny terbangun dengan rasa sakit dikepalanya. Dia menatap ke sekeliling. Terbaring. Masih di gudang berdebu yang kotor. Dia berpikir mungkin itu memang mimpi. Tapi buku-buku yang dibanting itu sungguh ada disana. Dia mengumpulkannya dan membawa keluar.
Ponselnya berdering. Gundi menelfonnya berkali-kali karena cemas, Weny hilang mendadak. Mereka sepakat untuk bertemu di parkiran sekarang juga.  
“Weny dari mana saja kamu? Wajahmu pucat, kamu sakit?” tanya Gundi panik saat Weny tiba di parkiran.
“Aku tidak apa-apa. Aku cuma ... seperti ketiduran di gudang belakang.”
“Ya ampun, aku mohon padamu, Weny. Jangan pernah seperti ini lagi. Kehilanganmu sebentar saja sudah membuatku panik. Apalagi ... “ dia terdiam. “Pokoknya aku tidak bisa hidup tanpamu. Kamu itu seperti nafasku, Wen!”
“Gundi ... “
“Apa?” Gundi menatap dekapan buku Weny. “Jadi, kamu yang membawa bukuku? Aku sampai lupa di mana terakhir kali aku meletakkannya karena mencarimu tadi.” Gundi segera mengambil alih buku-buku itu dari tangan Weny.
“Gundi, bagaimana jika umur kita tinggal tiga tahun lagi?”
“Tidak masalah. Yang penting itu bukan berapa lama kita hidup, tapi bagaimana kita hidup. Hidup bukan untuk mati, tapi hidup untuk ‘hidup’ yang sebenarnya. Dan kalau memang sisa umur kita tiga tahun lagi, maka kita akan menciptakan sejarah sebaik mungkin untuk hidup abadi.”
“Memang apa artinya kita bagi dunia, Ndi?”
“Kita amat sangat berarti, Weny. Kita hidup tak cuma untuk makan dan minum. Tapi kita punya akal untuk berpikir. Dan kita akan menggunakannya untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Dan kita akan membela yang benar itu. Apapun resikonya.”
Di pinggir jalan terpampang sebuah baliho besar yang baru selesai dipasang. Memajang foto wanita muda yang cantik dan terkenal. “Ndi, dia cantik ya?” tunjuk Weny pada baliho itu.
“Oh, itu kan anak capres tahun depan, Wen.”
“Dia mirip Meri Shelly”
“Tokoh fiksi mana itu?”


-SELESAI-

Komentar

Postingan Populer