Sebuah Catatan Perjalanan; JKT-Bogor

Sebuah Catatan Perjalanan;
JKT-Bogor
#The Green Girl

    Tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Bercita-citalah setinggi mungkin. Maka Allah akan memeluk doa-doa kita, dari hal yang sepele sampai ke urusan yang mungkin secara logika otak kita mengatakan impossible. Allah dengarkan semuanya. Dan jika tidak Allah kabulkan saat itu juga, mungkin Allah sedang menyiapkan saat-saat terbaiknya, atau mengganti dengan hal yang jauh lebih baik buat kita daripada yang kita minta. Yang harus kita lakukan saat ini sebagai pemimpi hanya satu, satu, satu saja! “Yakin”. Kita hanya perlu Yakin dengan apa yang kita inginkan atau apa yang kita impikan. Tidak sulit kan? Hanya Yakin saja. Saya yakin mau masuk surga; Saya yakin mau menjadi penghafal Qur’an 30 juz; Saya yakin mau pergi kesana; Saya yakin mau menjadi seorang tertentu; dan seterusnya.
     Tapi sulit sekali kita  untuk yakin. Cuma yakin aja lho, masak ga mau. Soal upaya dan bagaimana caranya serahkan saja pada-Nya. Entah dari mana asalnya, bahkan dari arah yang tak pernah kita duga-duga, Allah pasti akan memberikan kemudahan, bantuan dan jalan keluarnya. 
     Seperti halnya saya yang ingin pergi ke Bogor untuk bertemu seorang senior yang luar biasa cara berpikirnya. Keinginan ini sudah lama saya utarakan ke beliau, kak Rahmatul Husni, atau saya biasa memanggilnya Kak Ma. Kalau tidak salah saya ingin kesana itu sejak kuliah tahun akhir . Karena melakukan suatu perjalanan itu ada kenikmatan tersendiri bagi saya. Beliau sudah di Bogor. Dan saya yang saat itu lumayan jenuh dengan kampus, ingin refreshing dan mencari semangat baru, bilang ke Kak Ma pengen nyusul kesana barang 3, 4, atau 5 hari. Cuma untuk jalan-jalan. Tapi tentu banyak pertimbangannya, seperti dari segi biaya, waktu dan teman berkelana. Lirik temen kanan kiri kayaknya ga ada yang bener-bener bisa diajak pergi kesana. Akhirnya terpendam keinginan itu, malu juga udah bilang pengen kesana berkali-kali, tapi ga jadi terus. 
     Pasca kampus, keinginan itu muncul lagi, “Pengen ketemu Kak Ma di Bogor”. Terus chatingan lagi sama Kak Ma. Saat itu lebih detail pertanyaannya, “Biaya Pulang-Pergi berapa kak?”, “Untuk sekitar 3-5 hari butuh biaya berapa kak?”, “Kak nanti jemputnya dimana?”, dll. Pertanyaan saya itu kayak udah 99,99% jadi pergi. Nyatanya ga jadi lagi. 
     Sampai Kak Ma udah merit dan sebulan lagi mau lahiran insyaAllah, semua itu baru terwujud, setelah hampir 3 tahun. Dan itu adalah kemarin, Kamis, 15 September 2016. Rencana itu juga terjadi secara tiba-tiba. 
     Rabu sore, saya lihat Kak Ma lagi online, kembali saya sapa. Sebelumnya ada chating sih, tapi ngobrol biasa atau cuma tanya, “Hari apa Kak kosong? Heny mau ketemu Kak Ma”. Tapi karena beliau ini kegiatan banyak, apalagi setelah jadi istri orang, eh maksudnya istrinya Mas Ilham, jadi penentuan hari untuk ketemu agak sulit. Tapi waktu itu Kak Ma bilang, “Besok, Kamis insyaAllah bisa, karena orang-orang di kampus lagi ada acara Ta’aruf Mahasiswa (*Atau bahasa umumnya ‘Masa Orientasi Mahasiswa Baru’).”
     Oke, deal. kita janjian ketemu di kampus UIKA Bogor hari kamis. 
Sejujurnya ini perjalanan saya pertama kali naik KRL sendiri ke Bogor. Mungkin yang sudah biasa bilang “ah, cuma Jakarta-Bogor doank, deket!”. Iya mungkin deket, tapi untuk gadis desa seperti saya, masih was-was dan cemas. 
     Kak Ma bilang sih, “coba ajak Kak Rini, siapa tau deket sama Heny. Waktu itu dia bilang mau ke sini juga.”  Dalam hati saya, “Alhamdulillah, ada teman untuk berkelana”. Akhirnya saya minta no Kak Rini, rencana akan saya hubungi malam harinya. Tapi saya lupa kalau ternyata sudah ada janji untuk memoderatori MUBES di Grup kecil via WA, tapi berskala nasional, namanya PAZ atau Pemuda Akhir Zaman (sekalian promosi yaaa ). Jujur, itu MUBES tersingkat yang pernah saya ikuti. Normalnya MUBES itu butuh sekitar minimal 2 hari. Tapi MUBES di PAZ cuma kurang lebih 90 menit, atau satu jam setengah. Luaaarrrr Biassaaaa. Bener-bener bikin ngos-ngosan. 
     Intinya, saya ga sempat lagi menghubungi mbak Rini. Itu artinya besok pagi, saya resmi berangkat sendiri. Tapi untungnya saya sempat searching di Google rute-rute KRL Jakarta-Bogor. Ada stasiun KRL yang dekat dengan kos, Stasiun Pasar Senen, tapi sayangnya itu harus transit, dan itu akan merepotkan. Selanjutnya ada Stasiun Gambir yang lumayan deket, tapi ternyata KRL nya tidak berhenti di stasiun ini. Akhirnya saya ambil stasiun jarak terdekat ke-3 setelah Gambir, yaitu stasiun Juanda.
     Udah sering sih, bolak-balik di stasiun Juanda, hampir setiap hari malah. Tapi sekali pun, saya belum pernah masuk kesana. 
       Jam delapan tiga puluh saya berangkat dari kos, berbekal doa al Ma’tsurat dan tas ransel hijau yang selalu setia menemani perjalanan saya sejak kuliah hingga sekarang. Dari kos ke Juanda saya naik Busway, lumayan sepi kalau jam segini, ga rebutan sama jam berangakt kerja atau masuk sekolah. 
     Sesampainya di Juanda, suara bapak-bapak ojeg dipintu keluar benar-benar menyeramkan, pemandangan yang ga enak dilihat, tapi ya mau bagaimana lagi, karena mereka harus menjemput bola mencari penumpang, karena mereka bersaing dengan sistem ojeg online. 
     Yang pertama saya lakukan adalah, sama dengan yang dikatakan oleh malaikat jibril kepada Nabi Muhammad saat turun wahyu pertama, iqro’ atau Read atau Bacalah. Maka saya membaca petunjuk di tiang tembok yang ada di tengah-tengah, saya ikuti tanda panah menuju Loket Tiket.  Oke kelihatan, itu dia! Tapi ini jelas berbeda dengan kereta api yang pernah saya naiki di Padang. Kalo di Padang pelayan tiketnya masih manusia, masih bisa ditanya-tanya. Tapi di zaman modern ini, pelayan tiket berubah jadi mesin. Yah, kebingungan juga saya sebagai anak kampung. Yang saya andalkan cuma, ya yang tadi Baca. Saya ikuti aja petunjuk di mesin itu yang seperti mesin ATM. Ada opstion pemesanan baru atau isi ulang, saya pilih pemesanan baru. Kemudian pilih stasiun tujuan, saya pilih Stasiun Cilebut, karena kata Kak Ma ini lebih dekat ke UIKA dibandingkan dari stasiun Bogor. Oke, pemesanan di proses oleh mesin.  Di situ tertera biaya perjalanan Rp14.000. Nah, gimana cara bayarnya? Hehee dasar kampungan. Saya jadi kebingungan, untung saja seorang petugas datang dan membantu saya. Oke, tiket aman. 
     Sekarang saya bingung, setelah ini kemana? Saya tanya lagi ke petugas yang tadi bantuin saya. Dia memberikan intruksi arah ke saya, dan saya cuma paham arahan pertamanya saja, “Dari sini belok kiri, lurus terus, nanti .......” saya ga ngerti apalagi yang diucapkan si petugas. Tapi saya jalan saja mengikuti intruksi pertama si petugas, nanti bisa tanya lagi petugas yang disana, pikir saya. Pas saya lagi jalan sambil berpikir, ada dua orang berjalan di depan saya. Sebelah kiri perempuan dan sebelah kanan bapak paruh baya dengan jalan mulai agak melambat dan mengatakan sesuatu. Saya dengar, tapi saya diam saja. Karena saya kira bapak ini ngobrol sama perempuan tadi. Terus bapak itu mengulangi pertanyaannya sambil menoleh ke saya, baru saya tahu kalau bapak itu lagi ngoomong sama saya.”Mau ke Bogor ya dek? Bareng sama saya aja” katanya. “Iya pak, Bapak mau ke Bogor juga?”
“Enggak, saya ke Bojong Gede. Sebelum stasiun Bogor”
“Oo,, saya mau ke Stasiun Cilebut, Pak.” Jawab saya.
     Dalam hati sih, Alhamdulillah dapet temen perjalanan. Meskipun ada sedikit kekhawatiran. Gimana kalau ternyata bapak ini orang jahat? Cuma modus pura-pura baik nolongin saya?Gimana kalau saya dihipnotis? Gimana kalau saya diculik?gimana, gimana, gimana?
     Buru-buru saya hapus lintasan pikiran suudzon itu. Sambil menunggu KRL arah Bogor kami ngobrol banyak hal. Tanya tempat tinggal di Jakarta, asal daerah, dan lain-lain. Saya pikir bapak ini asyik ngobrolnya, menurut saya masih batasan wajarlah. Saya bilang kalau saya dari Riau, beliau awalnya kaget “Iya? Wah sama-sama sumatra kita. Saya dari Medan” katanya. Tapi saya lebih banyak jadi pendengar sih daripada ngomongnya, palingan saya ngomong kalau ditanya. Karena bagaimana pun juga ini orang yang baru saya kenal, mesti hati-hati juga. Tapi kelihatannya bapak itu santai aja bercerita tentang dirinya, bahkan termasuk istrinya, anaknya dan pekerjaannya. 
     Karena melihat bapak ini baik akhirnya saya yang menanyakan nama beliau dan memperkenalkan nama saya. Saya sebut saja nama asli saya “Saya Heny, Bapak Pak ...  siapa?”
     “Pak Erwin” Katanya. Saya sampaikan beberapa inbformasi yang saya dapatkan (untuk mengingati diri sendiri, biar ga lupa). Pak Erwin tinggal dengan anak perempuannya yang sedang kuliah di Trisakti jurusan kedokteran, dan sudah tahun akhir. Istrinya kerja di Bangkok Thailand, di perusahaan alat-alat elektronik, pulangnya empat bulan sekali. Anaknya punya teman orang Riau, tepatnya di Belilas. Sedangkan Pak Erwin sendiri kerja di Hilton Hotel, dan mau ke Bojong Gede untuk menjemput orang yang akan kerja disana katanya. 
     Setelah ngobrol beberapa lama, akhirnya KRLyang kami tunggu sudah tiba.  Kami naik di gerbong yang sama dan tempat duduk yang dekat pula. Di dalam KRL kami kembali ngobrol. 
     Pak Erwin cerita kalau dia pernah kerja di Riau, tepatnya di Siak katanya. Saya kaget juga pas disebut Siak, “Nah, saya disitu kampungnya Pak, di Siaknya.”
“Oo, adek ini orang Siak ternyata? Pantesan tadi logatnya agak beda” katanya. 
“Tapi saya aslinya orang jawa, Pak.”
“Ooo, berarti transmigrasi juga ya? kakek saya udah lama transmigrasi ke Medan. Saya aja lahirnya udah di Medan. Kalau saya keturunan Jawa Medan.”
“Ooo Bapak Jawa Medan, pantesan logat medannya gak kelihatan. Kakak ipar saya juga Jawa Medan. Saya juga udah lahir di sumatra pak, orang tua transmigrasi ke Riau dari tahun 1984.”
Dan kebetulan saat itu saya lagi bawa novel 1984. Hehehhee. 
     Setelah lumayan capek ngobrol ini-itu, Bapak tadi membuka koran yang di bacanya. Dan saya juga melanjutkan bacaan novel saya, 1984. Kami sibuk dengan bacaan masing-masing. Sampai bapak itu kelihatan lelah dan ketiduran. Saya masih asyik masuk ke dunia khayalan distopia-nya Goerge Orwel tahun 1984.  Sampai kemudian KRL akan segera tiba di stasiuin Bojong Gede. 
Pak Erwin terbangun, dan kembali membuka obrolan kami. 
“Adek, nanti saya turun duluan ya. Adek di Cilebut nanti setelah Bojong Gede. Nanti kalau pulangnya kemalaman atau ada perlu apapupnlah, hubungi nomor saya yang tadi aja. Anggap aja kayak saudara sendiri. Dirumah saya juga ada anak perempuan saya.” Katanya.
    Saya mengiyakan saja sambil tersenyum kagum. Ternyata bapak ini beneran orang baik. Jadi jangan suudzon sembarangan ya. Oya, saya lupa bilang, saat menunggu KRL tadi Pak Erwin memberikan nomor telfonnya ke saya.  Ga apa-apa untuk menambah koneksi kenalan di Ibu Kota Metropolitan. 
KRL berhenti di stasiun Bojong Gede. Bapak itu pamitan ke saya sebelum turun. 
“Terima kasih banyak, Pak.” Jawab saya. 
     KRL kembali melaju menuju ke stasiun Cilebut. Saya mulai bersiap-siap untuk turun. Saya masukkan novel ke tas, dan menenggak air putih yang saya bawa di gelas tupperware. 
     Pengumuman pemberhentian KRL di Cilebut sudah diperdengarkan. Saya berdiri di depan pintu sebelah kanan kereta. Namun ternyata pintu KRL yang terbuka berbeda-beda. Ada yang di sebela kirih dan ada yang sebelah kanan. Dan yang terdekat dengan saya terbuka di sebelah kiri. Padahal yang saya lihat sebelah kanan yang cukup ramai. Saya pikir tidak apa-apalah yang penting sampai. Setelah turun saya celingak celinguk, kemudian membaca lagi, ada penunjuk panah KELUAR. Saya ikuti penunjuk itu. Setelah keluar saya langsung menuju loket, alhamdulillah kali ini pelayannya manusia, bukan mesin. Kartu KRL itu saya kembalikan, dan uang jaminan 10.000 saya  di kembalikan. 
     Oke saya sudah di stasiun Cilebut. Apa lagi sekarang? Pikir saya. Ojeg Online. Dalam rencana saya dari Cilebut ke UIKA saya akan naik ojek online. Tapi ternyata keadaan di luar tidak seperti yang saya bayangkan. Kok begini??? Kok pedesaan? Kok sepi?? Akhirnya saya paham sekarang. Kalau saya turun di sisi yang salah. Seharusnya di seblah kanan KRL tadi, tapi pintu saya terbuka di sebelah kiri. Dan sekarang ga mungkin saya masuk lagi untuk nyebrang ke sisi sebelah. Kalau masuk lagi ya berarti bayar lagi.  Saya pikir ya udah lah yang ada aja, kembali saya mengandalkan Iqro’. Saya baca tak jauh dari pintu keluar, ada plang ala kadarnya bertuliskan “OJEG”. Ya sudah, saya putuskan naik ojeg biasa aja, ga mungkin kayaknya ada ojeg online yang masuk ke sini. Akhirnya saya dapat ojeg yang akan mengantarkan ke UIKA. Baru jalan satu meter, saya lihat jalannya kecil dan becek. “Beneran ga sih ini jalannya?”. Saya agak khawatir sih, tapi ini siang kok, banyak rumah penduduk juga. Mungkin emang becek karena habis hujan. 
    Dalam perjalanan yang sempit, becek, berliku, dan keadaan motor tua yang gasnya sudah kasar banget, si ojeg mulai buka obrolan,
“Mau kuliah, teh?” tanyanya, padahal saya ga suka di panggil teteh, ada trautama tersendiri, hehee.
“Enggak,”
“Emang dari mana teh?”
“Dari Jakarta, cuma mau ketemu temen.”
Dan seterusnya masih nanya-nanya, si ojeg kepo nih. 
     Setelah melewati gang-gang desa, saya nanya “masih jauh a’?” (karena saya dipanggil teteh, jadi saya panggil dia aa’ aja. Walaupun logat saya tetep sumatra, ga ada tambahan -k diakhir kata, seperti logatnya orang sunda).
“Lumayan teh, tapi enggaklah sebentar lagi.”
     Ya sudah lah, saya duduk sambil menunggu aja. Padahal tangan kiri pegangan besi belakang udah pegel banget. Seperti yang saya bilang tadi motor tua, gasnya kasar. Jadi harus pegangan kuat untuk menjaga jarak dengan si ojeg. 
    Akhirnya sampai juga. Awalnya dia minta 30.000. saya tawar 20.000. tapi ga bisa katanya. “Ya udah deh 25 aja” katanya dengan logat sunda. Sepakat, hitung-hitung itu sekalian terima kasih saya, bukan cuma ongkos doank. 
     Saya tunggu sosok yang dicari itu dibawah gazebo tenda hijau, bersama mahasiswa-mahasiswa lainnya yang ada disana. Dan terkenanglah masa-masa jadi mahasiswa dulu. Saya WA Kak Ma, mengabarkan kalau saya sudah sampai di UIKA. Sambil menunggu saya coba cek harga ojeg online dari UIKA ke stasiun Cilebut, harganya cuma 7.000 ternyata. Ya udah, mungkin emang udah rezekinya si aa’ ojeg.
Beberapa menit kemudian, terdengar nama saya di panggil. Saya lihat wajah itu, “Kak Ma!”. Setelah sekitar 3 tahun ga ketemu, sekarang Kak Ma udah berubah bentuk, jadi gendutan. Wajar aja, soalnya lagi berbadan dua. Tapi pesona kecantikannya itu malah semakin terpancar, terlihat berseri-seri, seperti sakura di musim semi. Heheee
     Senangnya bukan main, pertemuan ini akhirnya terwujud juga. Ohh, Kak Ma. Setelah ketemu saya jadi spechless, saking harunya. Tapi yang namanya Kak Ma, ya Kak Ma. Bukan Kak Ma namanya kalau ga bisa ngidupin suasana, sang sanguinis sejati. Saya senang jadi pendengarnya. Kak Ma langsung ngajakin makan, pas saya lirik ke jam tangan, ternyata udah jam sebelas lewat. 
“Makan di Jogja, yuk?”
“Jogja?”
“Hehe  maksudnya nama tempat makannya, dek. Ga jauh kok, tinggal jalan aja. Kak pengen makan Soto Lamongan disana, enak lho?!”
“Oo, ya udah, yuk kak. Heny ngikut aja deh.” Masak iya sih enak? Soalnya menurut aku semua soto itu rasanya sama, itu-itu juga. 
     Pas nyampe di Jogja dan nyicipi sotonya. Wahhh beneran beda. Enak bangeet. Kuahnya ga tau pake santan atau enggak, tapi dia kuning, bumbu dan aromanya khas, daging ayamnya bertekstur lembut. Pokonya beda dari soto biasanya. Dan harganya juga standarlah untuk tempat senyaman ini. 
     Nah disinilah, semua cerita, cita dan cinta Kak Ma itu dimulai, mengalir ke telinga saya. Dari ngobrolan soal adek-adek di fakultas, wisma-wisma, cerita panjang beasiswa yang membawa Kak Ma ke UIKA, pergerakan harakah-harakah di Indonesia, cerita romantisme cinta hingga bertemu dengan sang suami, tentang perbandingan pemikiran barat, tentang pendidikan perempuan, dan bahkan sampai  soal pola asuh pendidikan anak, dan masih banyak lagi yang lainnya. 
     Baik saya bocorkan sedikit tentang diskusi kami dalam pola pendidikan anak, yang dimana dari diskusi ini ternyata adalah awal pertemuan dari cerita cinta Kak Ma dan Mas Ilham. Begini, secara umum orang lebih percaya dengan riset yang diadakan oleh negara-negara maju, seperti Jepang, Amerika dan yang lainnya. Orang Indonesia jadi seperti berkiblat dengan riset-riset mereka. Padahal belum tentu 100% benar. 
     Yang mulai masyarakat percayai sekarang adalah, anak usia dini tidak boleh terlalu dipaksa untuk belajar. Karena kanak-kanak itu waktunya mereka bermain. Jadi, anak-anak tidak perlu diajari pelajaran yang terlalu berat seperti membaca, menulis, berhitung, apalagi menghafal huruf, menghafal angka, dll. Biarkan mereka bermain sesuka hatinya. Karena itulah cara mereka berkembang.  
Apakah ini benar?
     Lalu, coba kita bandingkan dengan para tokoh-tokoh islam seperti Imam Syafi’i yang sudah menghafal Al Qu’an sejak masih kecil, umur tujuh tahun, atau Imam Nawawi di usia balighnya, dan yang lainnya. 
Lalu apakah pola ini salah?
     Setelah diskusi dengan Kak Ma, barulah terbuka pikiran saya. Bahwa sebenarnya yang menjadi masalah itu bukan anak usia dini tidak boleh belajar atau menghapal seperti yang orang barat katakan. Tetapi letak masalahnya adalah pada “Caranya”. Bagaimana cara mengajarkannya pada anak-anak. Tentu anak-anak tidak bisa di paksa dalam belajar, tapi bisa disiasati dengan bagaimana cara mengajarkannya. Maka ajarkanlah dengan cara yang menyenangkan, yang disukai anak-anak. Buat belajar menjadi sesuatu yang menarik dan menyenangkan. Sehingga mainnya mereka tidak hanya main saja, tapi juga belajar. Karena justru usia dini itu adalah usia emas; usia yang masih sangat mudah untuk anak-anak belajar, menghapal, mencerna lingkungan, dan juga penting dalam menanamkan prinsip-prinsip sejak dini.
Oke, itu obrolan yang bisa saya bocorkan disini. 
     Setelah cukup lama ngobrol, jam sudah menunjukkan hampir pukul 13.00, kita bingung mau kemana setelah ini? Salah satu rencana yang diusulkan Kak Ma adalah cari buku ke Universitas Indonesia, di Depok.  Tapi kita harus ke sekolah suaminya Kak Ma dulu naik angkot. Dan saya pikir, “Kayaknya ga sempet deh Kak kalau kita ke UI, soalnya heny rencana mau balik ke Jakarta ba’da asar, atau sekitar jam 15.15. kalau ke sorean takut KRL nya penuh.”
     “Oo iya ya, Kak ga mikir itu. Tapi kayaknya arah Bogor-Jakarta sepi dek, yang rame itu Jakarta-Bogor kalau sore, soalnya banyak orang Bogor yang kerja di Jakarta.”
“Tapi Kak, juga ada yang mau di beli sih, soalnya besok jum.’at udah ga sempat. Terus Sabtu udah mau pergi ke Bandung, ada saudaranya mas yang walimahan.”
“Ya udah kita ke pasar aja, Kak?”
“Ga pa-pa, Heny ke Pasar? Ga ada tempat yang mau dikunjungi lagi?”
“Ga ada Kak, Heny Free, kesini cuma mau ketemu Kak Ma doang.”
     Setelah makan, kami langsung meluncur ke sekolah tempat suami Kak Ma ngajar. Lumayan terasa jauh sih perjalanannya dengan angkot, soalnya berkli-kali ngetem, dan itu ga sebentar. Karena lagi ga keburu-buru, jadi ya dinimkati aja. Cuma saya kasian sama Bumil di samping saya ini,  mana angkotnya kasar lagi mainin remnya. Ga lihat apa, kalau di dalam itu ada Ibu Hamil? 
     Jam 13.30 kami baru sampai di sekolah. Saya langsung nemenin Bumil ini sholat zuhur dulu disana. Setelah selesai sholat, barulah kami bertiga -saya, Kak Ma, dan Mas Ilham- meluncur menyisiri jalanan kota Bogor, mampir sebentar di Sangkuriang, beli oleh-oleh lapis Bogor. saya ambil yang rasa Durian-Keju, rasa favorit saya :D. Tapi ternyata saya ga jadi beli, karena jadinya dibeliin sama Bumil ini, hehee, Makasih Kak Ma.   
     Dari Sangkuriang perjalanan kami lanjutkan, hingga tiba di Pasar Cibinong. Hari ini benar-benar jalan-jalan. Dari Kota Bogor sampai ke Cibinong. Saya menemani Kak Ma, yang di temani misua langsung menuju target lokasi, mencari yang Kak Ma butuhkan. Kami jalan bertiga, dan saya yang paling kecil, mungkin dikira anaknya kali ya,, :D 
     Setelah selesai keperluan di pasar, saya cek jam tangan, sudah pukul 15.10. “Jadi Heny mau pulang pakai apa? Kalau bus atau APTB ini ada di dekat pasar yang kita lewat tadi.”
“Kayaknya Heny ga yakin naik bus itu Kak; ga yakin dengan keamanan dan kenyamanannya. Lagian Heny ga tahu rute busnya. Mending Kereta aja. Tapi jauh ya Kak kalau balik lagi ke stasiun Cilebut?”
“Stasiun Cibinong ada, masih baru banget. Belum ada satu atau dua tahun gitu ya, ga ngerti juga Kakak.”
Akhirnya saya cek di internt rute KRL stasiun Cibinong. 
“Kok ga ada ya, Kak?”
“Iya emang masih baru banget dek, kereta yang lewat juga ga banyak. Jam-jam tertentu aja.”
Saya cek lagi jadwal KRL di stasiun Cibinong. 
“Ada yang jam 4 sore, Kak, kalau ketinggalan berarti nunggu yang jam setengah delapan malam. Tapi masih sempat kan?”
“Sempatlah, dekat sini kok stasiunnya.” Kata Mas Ilham.
     Kami bertiga langsung menuju ke parkiran mobil. Kak Ma dan Mas Ilham, siap mengantarkan Cinderela naik kereta sebelum lonceng jam berbunyi, dan bisa bahaya kalau terlewat. Wkwkkkk :D 
     Ternyata stasiunnya memang dekat, simpangnya seberang jalan dari pasar yang datangi tadi. Tapi kami harus putar arah dulu untuk masuk ke gangnya. 
“Kok Plang STASIUN CIBINONG nya kecil banget ya,” kata Kak Ma.
“Udah sampai” Kata Mas Ilham.
Saya dan Kak Ma, mencari-cari, sampai? “Mana Stasiunnya?”
“Itu !!!” tunjuk Mas Ilham.
“Oohhhh...” Jawab saya dan Kak Ma berbarengan.
     Dari seberang, terlihat ada Stasiunnya di atas bukit, ada tangga panjang untuk naik kesana, dan jalan mendaki yang tinggi untuk kendaraan jika mau naik kesana. 
“Ya udah disini aja, Kak. Nanti payah putar baliknya” kata saya.
Akhirnya kami berpisah disini   hihiiiii....
Kak Ma .....  Sampai jumpa lagi ... 
     Dengan langkah tergesa-gesa saya menaiki bukit itu. Sesampainya saya langsung menuju loket. Alhamdulillah, pelayannya manusia lagi. Bisa ditanya-tanyain. “Pak, kalau dari sini ke arah Jakarta Kota transitnya dimana ya?”
“Jakarta Kota ya? Transit di stasiun Depok aja.” Katanya.
     Oke sudah agak terbayang rutenya di kepala saya. Tapi untuk memastikan yang saya pahami saya mau nanya lagi, tapi siapa  ya? Disini tidak terlalu banyak orang, bisa dihitung jari, kurang dari 10 orang yang sedang menunggu kereta.
     Saya ambil tempat duduk untuk menunggu. Sebelah kanan saya duduk seorang perempuan. Kayaknya mbaknya baik, akhirnya saya memilih perempuan ini sebagai tempat bertanya.
“Mbak kalau mau ke arah Jakarta Kota, atau ke  Juanda, transitnya dimana ya kalau dari stasiun Cibinong? Di Depok ya?”
“Wah, Saya baru pertama juga sih naik dari stasiun ini, tapi  kayaknya bisa di Depok, bisa di UI.. “ 
Kemudian datang bapak-bapak duduk dibelakang kami. 
“Kemana mbak?”
“Ke Juanda Pak,”
“Bisa di Depok, Bisa di UI. Yang mana aja bisa. Asal jangan lewat dari stasiun Manggarai.”
“Oo gitu... “
“Atau mau bareng saya aja, turun di UI? Soalnya nanti kalau di Manggarai malah bingung, disana ada banyak banget rel-rel, ntar malah salah naik kereta.”
“Oo Iya mbak, Saya di Depok aja kalau gitu.”
Akhirnya ngobrol-ngobrol dan kami pun berkenalan.
“Saya Heny”
“Elpi” katanya. “Heny darimana?” 
“Daerahnya mbak? Dari Riau, mbak darimana?”
“Iya, dari Riau?”tanyanya balik dengan ekspresi cukup kaget. “Saya dari Bengkulu”
     Wah, ketemu orang yang sama-sama sumatra lagi. Ya udah ngobrol terus deh. Hanya dalam hitungan menit kami sudah bisa akrab. Masih jam 4 kurang sekitar 15 menit. Angin disini luar biasa kenncang, saya kira ada kipas anginnya, ternyata angin alami. Dan awan mendung gelap mulai menyelimuti langit Cibinong. Rintik-rintik rinai hujan mulai turun perlahan, seiring dengan datangnya kereta menuju stasiun Nambo.
“Cepat-cepat mau hujan, naik dari sini aja, nanti keretanya balik kesini lagi udah hujan.” Kata petugas kereta yang ada di stasiun Cibinong. 
“Ayo kita naik ini aja daripada nanti kehujanan” kata mbak Elpi buru-buru mengajak saya menaiki kereta. 
Akhirnya kami naik kereta yang ke Nambo dulu. 
“Stasiun Nambo, Nambo itu singkatan atau emang nama daerah mbak?”
“Ga tau juga, saya baru sekali ini kesini, nama daerah mungkin.”
     Stasiun Nambo adalah tujuan akhir dari kereta yang kami naiki ini. Setelah sampai di Nambo, kereta akan kembali jalan lagi ke arah Depok. Lumayan jauh juga jarak stasiun Cibinong ke stasiun Nambo, tapi ga ada ruginya juga buat saya. Malah untung di saya. Karena saya niatnya emang jalan-jalan. Hehee
     Hujan benar-benar turun dengan deras saat itu, syukurlah kami sudah berada di dalam kereta. Sepanjang perjalanan tak ada habisnya kami bercerita. Jadi novel ga kebaca saat perjalanan pulang. Tapi ga pa-pa, ada story teller nih di samping saya. Lagi-lagi kali ini saya lebih banyak jadi pendengar, dan menanggapi seperlunya.
Hingga keluar pertanyaan darinya tiba-tiba, seperti menguji saya, “Udah punya pacar belum?”
     Sambil tersenyum saya jawab, “Saya memilih ga pacaran, mbak”
Barulah mengalir lagi nasehat-nasehat darinya, dan juga love story-nya dulu bersama sang suami, kedua anaknya dan adiknya yang sedang kuliah di Bintaro, keluarganya di Bengkulu, kisah perjuangan awalnya di Jakarta setelah lulus SMA, membiayai hidup dan kuliah sendiri, kisah ibunya yang sudah meninggal, kisah bapaknya yang menikah lagi dan baru meninggal 2 tahun yang lalu, dan masih banyak lagi. Hingga keluar juga nasehatnya tentang orang tua.
“Saya anak prtama, jadi bebannya agak berbeda setelah ibu meninggal. Orang tua Heny masih ada?”
“Alhamdulillah masih lengkap, mbak”
“Heny  anak nomor berapa?”
“Anak nomor dua dari dua bersaudara. Yang pertama abang, sudah menikah dan anaknya udah dua ..... “
“Ooo, jadi anak terakhirnya ya, prempuan lagi. Ga dilarang pergi merantau jauh-jauh?”
“Alhamdulillah enggak sih mbak, soalnya orang tua saya dulunya juga pengelana atau perantau  juga pas masih mudanya.”
“Oo gitu, iya sih, yang penting bisa jaga diri aja.”
“Iya mbak..”
Untuk meyakinkan dugaan saya, akhirnya saya mulai berani bertanya, “Mbak ngaji juga mbak?”
“Iya saya ngaji, kamu ngaji juga kan?”
“Iya mbak. Mbak ngajinya dimana?”
“Di Bogor, di .....  “
“Maksudnya, ngajinya dimana? Mmm tarbiyah mana?”
 “Liqo’, kamu liqo’ juga kan? Ya di itu di tarbiyah *** ....”
“Ohh, berarti sama kita mbak.”
     Dan mulailah diskusi kita beralih tentang harakah-harakah. Sampai membahas soal pernikahan beda harakah. Ternyata setiap orang punya pendapatnya soal yang satu ini. Padahal sama Kak Ma tadi juga abis bahas topik ini.
Karena saya merasa nyaman dan percaya ngobrol sama mbak Elpi, akhirnya saya merubah rute perjalanan pulang.
“Gimana? mau ikut cari buku di UI?” tanyanya.
“Emang mbak mau cari buku apa?”
“Buku titipan adik saya yang kuliah di Bintaro, ini judulnya” katanya sambil menyodorkan ponsel yang menunjukan cover buku yang  akan dicarinya, AKUNTASI KEUANGAN MANAJEMEN.
“Ooo... Lama ga mbak disana?”
“Enggak Cuma cari buku itu aja”
“Mmmm, boleh deh mbak. Tadi rencana sama temen yang di Cibinong mau ke UI juga, tapi ga jadi karena waktunya ga memungkinkan. Tapi akhirnya jadi juga.”
     Kami terus ngobrol hingga pengumuman di speaker kereta di bunyikan, bahwa kita hampir sampai di stasiun akhir, yaitu stasiun Depok.
“Nanggung banget ya Cuma sampe Depok, padahal satu lagi udah nyampe UI. Ya udah yuk turun, nanti kita sambung lagi kereta ke arah UI.”
     Saya ikuti aja mbak Elpi melangkah. Saya percayakan dia yang memandu perjalanan saya saat ini. Kami turun di stasiun Depok, tak berapa lama kereta yang kami tunggu datang. Akhirnya kami bertukar nomor WA, harapannya semoga masih bisa komunikasi lagi, ketemu lagi, dan bisa silaturahmi kerumahnya di Bojong Gede suatu saat nanti.  Kami naik Cuma sebentar, karena kami turun di stasiun pertama, stasiun UI. 
     Cukup rame dengan anak-anak muda di stasiun ini, yang pasti pada umumnya adalah mahasiswa UI itu sendiri. Kami menyebrangi rel kereta, dan menaiki tangga penyebrangan, untuk tiba di lokasi semacam pasar Mahasiswa. Karena yang di jual disini umumnya memang untuk mahasiswa, seperti buku-buku loak, aksesoris-aksesoris ke-UI-an; baju, gantungan kunci, pena, dan pernak pernik lainnya. Kami langsung mencari nama toko buku yang disebutkan oleh adik mbak Elpi, kalau tidak salah TOKO BUKU INDRA.  Dan ketemu, buku yang di cari juga ada. Setelah proses tawar menawar akhirnya ketemu juga harga kesepakatan. Saya sendiri cuma lihat-lihat buku apa aja yang ada disana. Mmang kebanyakan buku-buku teori pegangan para mahasiswa. Buku-buku umum ataupun novel Cuma sedikit sekali, dan itu belum menarik minat saya untuk membeli. Lagi pula niat awal saya kesini Cuma jalan-jalan dan menemani mbak Elpi.
     Selesai membeli buku pesanan, jalan-jalan sebentar. Terus mbak Elpi ngajakin makan bakso dulu.
“Bakso dimana mbak?”
“Itu !!” tunjuknya di depan saya.
     Ternyata tak jauh dari posisi kami berada, ada warung bakso. Mbak Elpi memesan mie ayam, dan saya juga memesan yang sama. 
“Mau minum apa?” tawarnya ke saya.
“Enggak mbak, saya udah bawa minum”
 Sambil makan mie ayam di sore itu, obrolan kami berlanjut.
“Heny umur berapa?”
“2* mbak”
“Iya? Tapi ga kelihatan ya?’
“Maksudnya mbak?”
“Iya soalnya badan kecil dan mash imut gitu, saya kirain tadi mahasiswa lho.”
Langsung deh kegirangan saya denger begitu. Jangan kan saya, nenek pun kalau dibilang masih imut pasti mesam-mesem juga. 
“Masak iya sih mbak?”
“Iya. Eh, kemaren itu ada ....... “ ceritanya panjang lebar. Entah bagaimana, mbak ini bisa seterbuka ini ngobrol sama saya. Saya juga ga tahu kenapa bisa semudah ini akrab dan percaya sama orang yang baru saya kenal. Ternyata mbak Elpi juga merasakan hal yang sama.
“Boleh deh mbak dicoba. Siapa tau cocok.” Jawab saya tentang yang diceritakannya barusan.
“Enggak tahu kenapa ya, kok saya bisa sedekat dan sepercaya ini sama kamu. Padahal saya ga pernah seblak-blak kan ini ngomong sama orang, apalagi kita baru kenal.”
“Iya mbak, sama saya juga ngerasa gitu. Mungkin karena udah ada ikatan background sebagai muslimah kali ya mbak, jadi walaupun belum pernah ketemu, ga kenal namanya, tapi karena sesama muslimah rasanya udah dekat aja, udah terasa kalau kita ini bersaudara (sebagai sesama muslimah).”
“Iya kali ya, dari pertama kita ketemu tadi lho, saya udah ngerasa gimana gitu lihat kamu. Udah khemistri kali ya?
“Iya.. “ jawab saya sambil tersenyum. 
     Obrolan kami tak pernah ada habisnya, meski hingga mie ayam di mangkok udah sama-sama habis. Hhee. 
     Mbak Elpi langsung memanggil si mas bakso, dan langsung membayar semua pesanan tadi. Pas saya mau gantiin uangnya, dia menolak. Padahal saya ngerasa ga enak, soalnya kita baru aja kenal. Dan entah kapan lagi bisa ketemu. Tapi mbak Elpi tetap menolak. Ya sudah saya ikhlasin aja, dia yang memenangi pahala sedekah. 
Memang betul hadist yang mengatakan bahwa silaturahmi itu bisa memperpanjang umur dan memperbanyak rezeki. Aamiiin.  hatur nuwun ya mbak Elpi. Semoga kita bisa bertemu kembali. 
     Selesai makan kami berjalan kembali ke stasiun UI. “Biasanya ada kajian bagus ba’da subuh di masjid UI setiap minggu. Kalau mau ikut kesini aja.”
“Wah lumayan juga itu mbak, jam berapa saya dari kos?” 
“Hehe iya sih, mungkin abis sholat subuh langsung berangkat. Sempet ga ya? Kalau saya biasanya abis denger kajian langsung olahrag disini, rame lho. Kalau mau olahraga disini gapapa..”
“Kejauhan deh mbak, tapi kayaknya perlu dicoba.  Saya biasanya olahraga di Monas aja yang dekat.”
     Setelah isi ulang tiket ke tujuan masing-masing; saya ke Juanda dan mbak Elpi ke Bojong Gede, kami masuk ke stasiun. Dan kami langsung berjabat tangan dan berpamitan, menyampaikan salam perpisahan. Saya menunggu untuk menyeberangi rel. Dan mbak Elpi langsung masuk ke gerbong kereta api yang barusan datang ini. Gerbong itu terlihat penuh sesak. Kasian mbak Elpi pikir saya. 
     Setelah kereta mbak Elpi lewat, baru saya menyeberangi rel dan menunggu kereta arah ke Jakarta Kota. Mmang benar yang di bilang Kak Ma tadi, kereta sore dari Bogor – Jakarta sepi. Tak seperti rute sebaliknya. Dan saya sangat bersyukur, bisa duduk nyaman menunggu kereta tiba di stasiun Juanda. 
     Perjalanan kembali ke kos saya lanjutkan dengan naik busway seperti biasa. Dan seperti biasa pula, jam segini pasti tidak dapat tempat duduk. Jangankan tempat duduk, bisa masuk bus aja udah syukur alhamdulillah. Untungnya lagi tidak sholat, jadi tenang aja mlihat magrib berlalu. Dan akhirnya tiba juga ke istana pribadi saya  sekitar pukul 19.30 WIB.     
     Cukup dulu untuk cerita perjalanan kali ini. Semoga bisa berkelana lagi, dan bercerita lagi, dan ga sendiri lagi, #eh.... :D 
Udah ya, 
Assalamu’alaikum...   
(hn)

Komentar

Postingan Populer