SECANGKIR SENJA #My Cup of Story
#My Cup of
Story
SECANGKIR SENJA
Derit selalu terdengar saat ia
menggerakkan tubuh gempalnya yang duduk di atas kursi itu. Terkadang sengaja
dia menggoyangkan kakinya di lantai agar bunyi itu mengisi keheningan.
Pandangannya bertumpu pada deretan pohon kopi yang tak jauh dari rumahnya. Baru
setahun lamanya kebun kopi itu selesai ditanam, kini mulai terlihat hasilnya.
Gadis cilik dengan rambut sebahu dan
berponi melangkah hati-hati keluar dari pintu menuju meja tempat dimana pria
bertubuh gempal itu tengah menikmati senja. Kedua tangannya memegang kuat-kuat
nampan berisikan dua cangkir kopi panas yang baru diseduhnya. Seolah-olah ia
takut jika sampai gagal mendaratkan cangkir-cangkir itu pada meja yang dituju.
"Ayah, ini kopi buatanku untuk
pertama kalinya. Ayo coba!" pinta Lirsya memanja pada Ayahnya.
Kehadiran gadis cilik yang
disayanginya itu telah mengaburkan renunganya. "Baiklah, sayang, Ayah akan
coba seduhan kopi perdanamu." diraihnya cangkir lalu diseruputnya
perlahan.
Lirsya memandangi Ayahnya yang
sedang menyeruput secangkir kopi yang tadi dibawanya. Berbagai pikiran
berkecamuk di kepalanya. Matanya berbinar mengisyaratkan tanda tanya besar. Apa
kira-kira pendapat lelaki yang dihormatinya itu mengenai seduhan kopi perdananya?
Lirsya semakin penasaran, karena
Ayahnya terlihat begitu mengilhami rasa kopinya sambil memejamkan mata dan
seperti menahan sesuatu. Ia tak sabar ingin tahu jawabannya, "Bagaimana
seduhan kopi perdanaku Ayah? Apa kau suka? atau ada sesuatu yang salah atau
kurang? Aku janji akan memperbaikinya besok." tanya gadis cilik itu
bertubi-tubi.
"Lirsya, sebenarnya kopi ini
nikmat. Tapi jika hanya Ayah katakan, kau mungkin tidak benar-benar paham. Jadi
coba kau cicipi milikmu." ucap Ayah dengan penuh kasih sayang.
Gadis cilik itu mengambil cangkir
kopi bagiannya dengan kedua tangannya. Lagi-lagi ia takut kalau isi cangkir itu
tumpah. Lalu diseruputnya pelan-pelan setelah ia mengembusnya agar tidak
terlalu panas. Dicicipinya dalam-dalam rasa seduhan kopi itu. Tak ubahnya sang
Ayah, ekspresi Lirsya tak jauh berbeda dengan ekspresi Ayahnya tadi. Dia
memejamkan mata dan mengenali rasa yang berbeda dari kopi itu dengan yang
dibuat oleh Ibu nya tempo hari.
"Oh Tuhan, apa yang telah aku
lakukan. Ayah maafkan aku. Ini rasa kopi terburuk yang pernah aku minum.
Maafkan aku menghancurkan inspirasi soremu dengan kopi asin ini. Aku belum bisa
membedakan mana gula dan mana garam. Sungguh Ayah, aku akan memperbaikinya
besok." Penyesalan yang sangat itu begitu tulus ia ucapkan.
Sang Ayah hanya tersenyum
menyaksikan ekspresi gadis ciliknya yang sangat lugu. "Kata siapa kopi
asinmu ini menghancurkan inspirasi Ayah. Ayah pikir sepertinya kopi yang manis
itu sudah cukup membosankan. Jadi tidak ada salahnya sesekali Ayah coba kopi
asin ini. Agar lidah kita memiliki variasi rasa."
"Benarkah? Kau berpikir begitu?
Ayah, aku sangat menyayangimu, ide dan inspirasimu selalu mengagumkanku.
Bolehkah aku sepertimu?"
Ayah tertawa terkekeh-kekeh
mendengar celoteh putrinya. "Tentu saja boleh, kenapa tidak?"
"Karena aku pikir, hal seperti
itu terlalu keren untuk anak perempuan sepertiku."
"Lirsya, kau bisa menjadi
apapun yang kau mau. Sekarang coba katakan pada Ayah, apa inspirasi soremu kali
ini, bersama kopi asin?"
Gadis kecil itu menundukkan kepala,
malu-malu hendak mengatakan isi kepalanya. "Aku takut kau akan
menertawaiku."
"Sayang, aku sudah menertawaimu
sejak dulu. Kau senang menemai Ayah menikmati senja disini bersama secangkir
kopi. Kau tak begitu suka bermain dengan kedua kakak perempuanmu. Imajinasimu
liar biasa, dan sikap manjamu yang menawan sekali, selalu membuat Ayah tertawa
melihatmu. Kau adalah anugerah terindah untuk Ayah, sayang. Ayah tetap bahagia
meski tak memiliki anak lelaki."
"Anak lelaki? Aku pikir, aku
juga ingin punya saudara lelaki. Kurasa itu menarik. Aku bisa mengajaknya
bermain layang-layang, main bola di lapangan yang becek itu setelah turun
hujan, atau berlari-larian."
"Bukankah tanpa ada anak lelaki
di rumah ini, kau tetap bisa melakukannya bersama Ayah?"
"Tentu saja, Ayah adalah Ayah
sekaligus sahabatku yang paling baik. Aku hanya tidak suka melihat tetangga
kita yang memandang aneh dengan kekompakan kita. Apa salahnya seorang anak main
bola, main layang-layang, main sepeda, bengkel sepeda ataupun minum diteras
bersama Ayahnya? Apakah karena aku anak perempuan?"
"Jangan terlalu kau pikirkan
sayang. Mereka hanya cemburu padamu. Oh ya, jadi apa inspirasi soremu tadi,
nak?"
"Oh, Ayah masih ingat soal itu?
Baiklah sekarang aku akan mengatakannya. Aku juga sudah siap melihat Ayah
terbahak-bahak mendengarnya nantinya. Ayah, aku sedih dengan harga biji kopi
kita yang semakin anjlok harganya. Padahal kopi itu minuman yang istimewa,
tidakkah mereka menghargai kerja keras Ayah menanam dan memelihara kebun-kebun
kopi itu? Seharusnya biji kopi itu mahal, karena dari secangkir kopi bisa
menghasilkan inspirasi-inspirasi yang mahal pula."
Sambil memperbaiki posisi duduknya,
Ayah berkata, "Itu masalah yang rumit sekali, sayang. Krisis seperti ini
bukan hanya terjadi di negara kita saja, tapi negara-negara lainnya di luar
sana, juga mengalami hal yang sama. Kecuali negara-negara adidaya yang memegang
kendali ekonomi dunia saat ini. Mereka bisa menaikan suku bunga sesuka hati
mereka. Menyebabkan nilai rupiah kita melemah, harga jual biji kopi kita tak
seberapa, namun bahan pokok terus melonjak tajam di pasaran, apa yang bisa kita
lakukan sekarang, sayang? "
"Nah itu dia, Aku ingin
melakukan sesuatu untuk dunia ini, Ayah. Aku ingin bisa menguasai dunia ini,
mendamaikan dunia dari perselisihan, menstabilkan harga biji kopi, dan
mensejahterahkan seluruh manusia. Semua orang harus minum kopi dan merenungi
masalah yang sedang kita hadapi, agar mereka memikirkan hal yang sama dengan
kita Yah, bahwa ada yang salah saat ini, ada yang perlu kita perbaiki. Aku
ingin mengendalikan dunia, dan menurutku menjadi pemimpin di negara adidaya
seperti Amerika itu bisa menjadi solusi yang efektif untuk kesejahteraan dunia.
Aku ingin menjadi presiden di Amerika, Ayah!" dengan panjang lebar dan
penuh semangat Lirsya menyampaikan mimpinya itu pada sang Ayah tanpa ada
sedikitpun keraguan di matanya.
Ayah tersenyum bangga dengan mimpi
putri bungsunya. "Mimpimu sungguh liar biasa, anakku. Bahkan Ayah tak
pernah sampai bermimpi yang seperti itu."
Hening sesaat memberi jeda bagi
mereka untuk melayang-layang dalam pikirannya masing-masing. hampir dalam waktu yang bersamaan, mereka
menyeruput kopi asin itu perlahan-lahan.
"Ayah, jadi apa inspirasimu
sore ini?" Suara Lirsya memecah keheningan senja itu.
Ayah bergumam sambil menyesapi sisa
kopi asin yang masih melekat di rongga mulutnya. Lalu sambil menatap putrinya
ia bersuara, "Ayah pikir sudah saatnya kita memperbaiki kursi-kursi tempat
kita menghabiskan senja bersama, sayang."
"Setuju Ayah!" jawabnya
dengan penuh semangat, "Kita harus membuatnya lebih nyaman dan lebih indah
. Kita harus menambahkan di kanan dan kiri kursi tempat sandaran tangan supaya
nyaman, atau kita buat saja kursi goyang sekalian. Jadi Ayah bisa leluasa
memainkan kaki panjang Ayah di lantai. Dan aku ingin memendekkan kaki kursiku
dan menambahkan palang dibawahnya agar kakiku tidak mengantung di udara karena
pendek. Bagaimana menurutmu Ayah?"
"Idemu bagus. Agar lebih indah
mungkin kita perlu mengecatnya ulang."
"Ayah hebat! Aku mau warna
hijau muda dengan list putih di sela-sela ukirannya. Boleh Ayah?"
"Tentu saja. Sekarang Ayah coba
telepon si tukang perabot dulu ya?"
Lirsya mulai bisa membayangkan
alangkah indahnya teras mereka nanti jika kursi-kursi itu selesai diperbaiki.
Dia begitu gembira dan tak sabar menunggu tukang itu datang mewujudkan
imajinasinya tentang kursi-kursi seperti apa yang akan berjejer diteras
rumahnya. Tak pernah henti-hentinya ia menceritakan itu pada Ayah, Ibu dan
kedua kakaknya. Dia berlari-lari penuh semangat membantu Ayahnya menyiapkan
barang-barang yang akan dibutuh oleh si tukang, seperti cat hijau dan cat putih
yang mengkilat khusus untuk mengecat perabotan rumah tangga. Menurunkan
kursi-kursi dan meja yang hendak diperbaiki; dan Lirsya dengan bantuan kakaknya
menyiapkan seduhan kopi untuk si tukang, agar ia tak salah lagi mengambil garam
sebagai gula.
"Karena ini penting sekali Kak.
Aku ingin si tukang perabot itu bisa menangkap inspirasiku dengan baik melalui
seduhan kopi buatanku ini. Sehingga dia bisa membayangkan apa yang aku
bayangkan mengenai desain kursi-kursi itu." katanya pada salah seorang
kakaknya yang bertanya, mengapa dirinya yang harus membuatkan minuman kopi
untuk si tukang perabot, dan tidak membiarkan kakaknya saja yang membuatkannya.
Tidak sampai setengah jam mereka
menunggu, si tukang perabot itu sudah datang. Lirsya menyambut hangat si tukang
yang akan mewujudkan kursi imajinasinya. Dia datang bersama ransel besarnya
dipundak yang berisikan alat-alat untuk menukang. Dipersilahkannya si tukang itu
duduk di ruang tamu, dan ditawarkannya untuk minum secangkir kopi yang telah ia
persiapkan tadi.
"Nikmati sepuasnya dulu seduhan
kopi buatanku Paman. Supaya Paman bisa memahami imajinasiku tentang kursi-kursi
itu." celotehnya pada paman si tukang.
Ayah hanya menyaksikan dengan hikmat
betapa rincinya imajinasi putrinya. Ia percayakan urusan desain itu pada
putrinya. Lirsya menceritakan semua keinginannya tentang kursi-kursi itu
sedetail-detailnya, bahkan ia mengeluarkan selembar kertas buku gambar. Semua
orang yang ada disana tercengang, termasuk Paman Si Tukang, melihat gadis kecil
umur 10 tahun itu telah menggambarkan kursi imajinasinya pada selembar kertas
di atas meja lengkap dengan pulas warna.
"Bagaimana Paman, apa
kata-kataku bisa paman mengerti? Dan maaf kalau gambarku tak cukup bagus untuk
mengilustrasikan imajinasiku. Tapi karena kau telah minum kopi buatanku, semoga
imajinasiku sekarang sudah mengalir padamu."
Paman Tukang tertawa mencoba
menangkap imajinasi gadis cilik yang kini duduk di depannya. "Baiklah, aku
bisa mengerti keinginanmu sekarang gadis cilik. Dan akan aku buatkan yang
terbaik untukmu."
Lirsya tak pernah bisa melepas
senyum bahagia di wajahnya akan harapan itu. "Tenang saja paman, aku akan
menemani Paman saat membuatnya. Jadi kalau paman lupa atau bingung, aku bisa
langsung memberitahukannya."
Ibu dan kedua kakak Lirysa kembali
ke aktifitas mereka masing-masing. Ayah dan Lirsya memandori Paman Tukang yang
sedang memperbaiki kursi. Tangannya yang terampil dengan alat-alat penukangan
itu tak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan pekerjaannya. Kurang dari
dua jam, kursi itu telah selesai diperbaiki dan dicat sesuai dengan keinginan
Lirsya. Namun karena masih basah, maka kursi itu baru bisa dipakainya besok
senja.
#####
Dua cangkir kopi telah ia buat
dengan seteliti mungkin. Agar secangkir kopi senja kali ini tidak seburuk
kemarin. Dia berjalan dengan nampan
seperti sebelumnya, siap menikmati inspirasi dengan kursi barunya bersama sahabat
tuanya.
"Warna senja setiap hari
berbeda-beda, membawa ruang dan suasana inspirasi yang berbeda pula. Jadi aku
tak pernah bosan membersamainya. Apakah kursi Ayah terasa nyaman?"
"Ya, tentu saja. Ini hasil
karya putriku." jawabnya dengan penuh kebanggaan.
"Syukurlah kalau Ayah suka. Aku
juga menyukai kursi milikku. Sekarang kakiku tidak menggantung lagi. Aku lebih
bisa menikmati senja kita kali ini."
"Jadi, apa kau masih ingin
menjadi presiden negara adidaya itu, sayang?"
"Entahlah Ayah, Aku baru
terpilih menjadi ketua kelompok drama untuk pertunjukkan bulan depan. Tapi aku
sudah merasa kepayahan. Apalagi anak laki-laki itu sulit sekali diatur.
Bagaimana jika aku memimpin seluruh manusia di dunia?Apa aku bisa?"
"Sebenarnya kau ingin memimpin
dunia atau mengendalikan dunia?"
"Maksud Ayah?"
"Memimpin itu jauh berbeda
dengan memegang kendali, sayang. Menjadi pemimpin belum tentu bisa
mengendalikan keadaan. Sedangkan untuk mengendalikan sesuatu kau tak harus
menjadi pemimpin dulu."
"Bagaimana mungkin?"
"Berperan dibalik layar itu jauh lebih efektif. seperti
yang kau lakukan kemarin."
"Kemaren? kopi asin itukah
Ayah?"
Ayahnya terkekeh-kekeh mengingat
kopi asin itu. "Bukan kopi asin, Lirsya. Yang Ayah maksud kursi nyaman dan
indah yang sedang kita duduki ini. Untuk memiliki kursi yang seperti harapanmu
ini, bukan berarti kau harus menjadi tukang perabot dulu. Kau cukup mendesain,
berkarya dibalik layar, dan tukang perabot melakukannya untukmu. Jadi, si
tukang adalah pemimpin atas apa yang sedang dikerjakannya, dan kau yang mengendalikannya."
"Jadi penyaluran imajinasiku ke
Paman Tukang melalui kopi yang aku buat
itu berhasil?"
Ayahnya kembali terkekeh. Dia
sendiri bingung, apakah gadis cilik ini bisa memahami maksud dari ucapannya.
"Lirsya, menjadi pengendali itu sama pentingnya dengan menjadi pemimpin.
keduanya harus bersinergi bersama-sama. Coba kau pikir, adakah istilah 'Bapak
Kota'? tidak ada kan? yang ada itu 'Ibu kota', inilah pentingnya menjadi yang
dibalik layar."
"Oke Ayah, aku akan menjadi Ibu
Negara saja." Celetuknya tiba-tiba dengan tegas.
Ayah tercengang dengan kalimat yang
baru saja diucapkan putrinya. Mungkinkah anak sekecil ini bisa memahami yang
dirinya katakan barusan? Atau mungkin secangkir kopi senja ini telah menyatukan
hati dan pikiran mereka? Jadi apakah penyatuan ide dan gagasan melalui
secangkir kopi benar ada? dan itu terjadi tanpa memandang jenis kelamin ataupun
usia?
Ayah meraih cangkir kopi yang ada di
dekatnya. Dan menyeruputnya hangat-hangat. "Ini baru kopi ternikmat yang
pernah Ayah minum, sayang."
-SELESAI-
Jakarta, 21 Agustus 2016
Makasih banget buat ceritanya, aku merasa dapat semangatnya Lirsya waktu aku membaca, terus pesannya soal pemimpin dan pengendali juga keren!
BalasHapusoh, aku mau kasih beberapa masukan sebagai pembaca : dari pertama aku melihat Lirsya digambarkan sebagai anak yg lugu, ceria dan pintar, tapi aku sedikit kaget waktu Lirsya bilang impiannya yang besar itu, aku bisa membayangkan pembawaan Lirsya yang ceria, tapi aku masih merasa kalau kata-kata yang Lirsya ucapkan sangat "tinggi" untuk ukuran anak 10 tahun, mungkin bisa di akali dengan cara penyampaiannya, pakai kata-kata yang lebih santai dan sehari-hari, begitu juga dengan ayahnya, maksudnya adalah bukan semerta-merta mengganti bahasanya jadi informal, tapi mengganti kata-kata tertentu yang memberikan dampak besar sehingga terlihat merupakan percakapan dengan bahasa yang "berat".
Fighting!
Fitri ....
HapusMakasih buat kritik n sarannya. Ternyata tingkat kepekaanmu tinggi dalam menganalisa bahasa. sebenarnya itu juga yang jadi pertimbangan waktu nulis. Padahal udah aku usahain untuk bikin senormal mungkin bahasa anak umur 10 th nya, masih keliatan canggih ya bahasa Lirsya. Mungkin emang dia terlalu cerdas, aku sendiri sampe cemburu sama dia. kalo dia ada sekarang di depanku, pengen aku cubit pipinya. terus minta dua cangkir kopi buat kita berdua, sambil menunggu yang perlu di tunggu... :)
Well, aku tunggu tulisan kamu ya ....
siapa tuh yang perlu ditunggu? ahahaha
Hapuslanjut terus ya nulisnya...